Meretas Kebekuan Hukum Fikih
Westernisasi telah melumpuhkan sebagain budaya Islam di seluruh dunia. Hal ini dapat dibuktikan dengan rapuhnya budaya luhur Islam bahkan banyak bermunculan reaksi antipati terhadapnya. Realitas lainnya mulai banyak orang telah mengabaikan fikih karena dipengaruhi oleh doktrin dan ajaran kapitalisme serta sekulerisme yang sangat mengakar pada pemikiran umat Islam saat ini. Mereka beranggapan bahwa fikih sudah tidak relevan lagi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan berbagai inovasi dan kreasi ilmiahnya menjadi tantangan mendasar bagi penerapan hukum Islam di tengah masyarakat Islam yang berjalan lambat, pasif, dan konvensional. Sedangkan IPTEK bersifat futuristik serta tidak berjalan surut ke belakang. Teknologi seperti transplantasi organ, bayi tabung, bank sperma, pil pengatur haid, face off (operasi wajah total), moderenisasi alat transportasi, komunikasi, mesin perang, alat olah raga, sistem ekonomi dan lain semacamnya merupakan aspek yang membutuhkan respon dinamis dari fikih atau hukum Islam.
Fikih klasik yang teosentris (aliran yang berpegang kepada teks-teks syariat secara kaku) dikatakan tidak bisa menjawab permasalahan hukum yang timbul di tengah masyarakat. Saat ini masyarakat berasumsi bahwa fikih sulit dipahami dan dicerna, mengingat bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab dan karya fikih tidak jarang dalam jumlah jilid yang banyak serta menggunakan tata bahasa (uslub) yang tidak sederhana.
Perkembangan fikih dimulai pada saat Muhammad saw. menerima wahyu hingga wafat, yang berlangsung selama 22 tahun beberapa bulan sejak 13 tahun sebelum hijrah sampai dengan tahun 11 hijrah (611 M- 632 M).1 Perkembangan fikih periode ini tidak terlihat jelas mengingat kompetensi absolut pembinaan hukum Islam berada di tangan Rasulullah saw. Ijtihad yang dilakukan sahabat terkadang disetujui nabi atau tidak disetujui. Semua tidak terlepas dari bimbingan langsung dari Allah Swt. melalui wahyu yang dibawa Jibril as sebagaimana dijelaskan dalam QS. 53: 3-4. Contoh kasus ijtihad yang dilakukan nabi ialah saat bermusyawarah dengan para sahabat mencari solusi pemecahan masalah tawanan perang Badar.2 Selain itu, upaya ijtihad juga dilakukan oleh sahabat yang ditugaskan nabi ke suatu kawasan tertentu untuk menyebarkan dakwah Islam seperti kasus Muaz ibn Jabal.
Pada periode sahabat, Rasulullah saw. sebagai sumber informasi dan pembina hukum telah tiada sehingga ijtihad secara praktis sudah terjadi dan telah dilakukan oleh para sahabat. Aktifitas mereka dalam bidang fikih sangat terbatas. Mereka menunggu kasus hukum terjadi yang secara tekstual belum tersentuh Alquran dan sunah.3
Abu Bakar as Siddiq ketika ditanya tentang hukum suatu kasus, hal pertama yang ia lakukan ialah mencermati apakah kasus tersebut sudah dijelaskan dalam Alquran. Apabila telah dijelaskan, ia putuskan dengan dasar Alquran. Bila kasus tersebut tidak terdapat dalam Alquran, ia cari jawabannya dalam sunah. Bila ia jumpai, ia putuskan permasalahan hukum tersebut berdasarkan sunah tersebut. Jika belum ia jumpai dalam sunah, ia kumpulkan para sahabat dan bertanya, apakah mereka mengetahui Rasulullah saw. pernah memutuskan perkara kasus tersebut, maka para sahabat terkadang menjawab pernah dan kadang belum.4
Perbedaan ijtihad dan fatwa yang terjadi di antara para sahabat disebabkan oleh beberapa alasan seperti perbedaan dalam memaknai kata dalam Alquran, perbedaan frekuensi atau waktu berkumpul membersamai nabi dan perbedaan nalar serta logika dalam melakukan istinbath hukum.5
Periode fikih setelahnya dilanjutkan dengan fase ijtihad dan keemasan fikih Islam yang melahirkan para imam besar di bidang fikih seperti Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad Idris al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal.6 Setelah masa tersebut, muncul periode kejumudan yang ditandai dengan munculnya fanatisme mazhab yang mulai tumbuh di kalangan umat Islam. Pada periode ini, ulama tidak lagi melakukan ijtihad mustaqil tetapi mereka memberikan syarah, khulashah, taklimah, dan koleksi fatwa yang dibutuhkan.7 Para ulama telah memutuskan perhatian dan pembahasannya hanya terbatas pada teks matan, syarah, mukhtashar dan khasyiyah.
Saat ini, masalah hukum kontemporer merupakan persoalan yang dihadapi oleh umat Islam yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. dan dasar hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran maupun hadis. Demikian pula masalah-masalah tersebut tidak terdapat dalam fikih klasik (fikih empat mazhab dan sebagainya) sehingga menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Oleh karena itu, masalah-masalah hukum kontemporer memerlukan berbagai disiplin ilmu para cendekiawan muslim (ulama) sehingga umat Islam dapat menemukan kepastian hukumnya.8
Atas dasar referensi fikih zaman klasik dan antisipasi tantangan fikih pada zaman kontemporer, A. Qadri Azizi menawarkan beberapa langkah untuk meretas kebekuan fikih dalam berinteraksi dengan dinamika kontemporer. Ketika berhadapan dengan masalah hukum kontemporer, langkah yang perlu dilakukan, pertama adalah rujukan dan kitab induk imam mazhab harus mendahulukan Alquran dan sunah sebagai sumber primer.
Kedua, pendekatan critical study dan history of ideas perlu dilakukan untuk mengkaji pemikiran ulama atau keputusan hukum organisasi kemasyarakatan Islam, ketiga yaitu karya ulama klasik diposisikan sebagai pengetahuan baik produk deduktif maupun empirik, keempat adalah sikap terbuka dalam konteks iptek, budaya, dan gagasan dunia luar diperlukan dan tidak tergesa-gesa dalam menilai sesuatu yang baru dengan landasan emosional. Kelima, responsif terhadap permasalahan yang muncul karena masyarakat ingin segera mendapatkan jawaban dari pakar fikih, keenam yaitu untuk menjawab masalah hukum, perlu ditawarkan pola penafsiran aktif dan proaktif yang mampu memberi inspirasi dan petunjuk yang tengah dijalani umat Islam.9
Selanjutnya yang ketujuh adalah ahkam al-khamsah (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) dijadikan sebagai ajaran etika dan tata nilai di tengah kehidupan masyaraka. Ilmu fikih sebagai ilmu hukum secara umum, yaitu kajian fikih dilakukan dengan pendekatan ilmu hukum sehingga pakar hukum umum dapat memahami substansi fikih dengan baik dan benar.
Kesembilan adalah kajian fikih harus menyeimbangkan pendekatan deduktif dan induktif. Proses deduktif adalah pemahaman terhadap Alquran dan sunah dengan segala metodenya termasuk qiyas. Sedangkan, proses induktif adalah penggunaan peran akal dalam porsi yang benar untuk mewujudkan hasanah di dunia dan akhirat bagi umat Islam. Kesepuluh, maslahah ‘ammah dijadikan sebagai landasan penting dalam membangun fikih, dan kesebelas adalah mejadikan Alquran dan sunah sebagai parameter dan kontrol terhadap hal-hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad itu menggunakan pendekatan induktif dan bukan deduktif.10
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan bahwa prinsip dan dasar penetapan hukum Islam ialah kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersifat adil, membawa rahmat, mengandung maslahat, dan membawa hikmat. Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kepada kezaliman, dari rahmat ke laknat, dari maslahat ke mafsadat, dan dari hikmah kepada sesuatu yang hampa tidaklah termasuk hukum Islam. Hukum Islam adalah keadilan Allah di antara hamba-Nya, kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya, naungan Allah di atas bumi dan hikmah Allah yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya secara tepat dan benar.11
Kemaslahatan sebagai
semangat untuk merespon dinamika permasalahan kekinian bersumber dari otoritas
utama sumber fikih, yaitu Alquran dan sunah. Kemaslahatan yang ingin diraih dan
diwujudkan oleh hukum Islam dalam wadah fikih kontemporer bersifat universal,
kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir-batin, material
spiritual, maslahah individu dan
umum, maslahah hari ini dan esok.
Semua terlindungi dan terlayani dengan baik tanpa membedakan jenis dan
golongan, status sosial, daerah dan asal keturunan, orang lemah atau orang
kuat, penguasa atau rakyat. Sehingga, dalil atau metode istinbath (menggali) hukum seperti qiyas, istihsan, istislah, sad al-dzari’ah, istishab, dan ‘urf pada
intinya menyingkap ada atau tidaknya maslahat dalam masalah-masalah
kontemporer.
Referensi:
1M. H. Ash-Sh.iddieqy. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.
2U. S. al-Syaqar. 1982. Tasyri’ al-Fiqh al-Islami. Kuwait: Maktabah al-Falah. h. 11.
3Ibn Qayyim al-Jauziyah. I’lamul Muwaqi’in an Rabbil ‘Alamin, Juz I. Beirut: Dar al-Jail. h. 204.
4Muhammad Khudori Beik. 1967. Tarikh Tasyri Islami. Beirut: Dar al-Fikr.
5M. M. al-Dawalibi. 1985. al-Madkh.al ila Ilmil Ush.ul Fiqh. Dar al-Ilm al-Malayin. h. 104-105.
6A. Ahmad, I. Duha. 1952. al-Qahirah: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah. h. 152.
7T. M. Hasbi As-Siddieqy. 1992. Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta; Bulan Bintang.
8Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 591.
9A. Qadri Azizi, Reformasi bermadzhab, Jakarta; khalista, 2004, h. 110-125.
10Ibid.
11Ibn al-Qayyim al-Jauziyah. 1977. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘alamin, Juz II. Beirut; Dar al-Fikr. h. 14-15.
Tidak ada komentar