Tauhid al Wujud-Ingsun iki Allah
Sumber gambar: facebook.com |
Syariat
adalah segala tuntunan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia dalam
bidang akidah, amaliah dan akhlak. Sumber tuntunan tersebut didapatkan dari teks
yang terdapat dalam Alquran, hadis Nabi saw. dan ijma’ para sahabat.1
Sedangkan menurut seorang tokoh legendaris sekaligus kontroversial yang pernah
hidup di tanah Jawa, Syekh Siti Jenar, syariat sejati adalah keyakinan dan
peresapan kalimat syahadat dengan batin. Menurutnya segala hal pada hakikatnya
selalu berpegang pada kesadaran batin. Iman yang
sesungguhnya ialah iman yang didasari oleh penghayatan, pengalaman dan
pengamalan serta keyakinan dari dalam batin. Jenar tidak melihat dari keyakinan
mana muridnya berasal (Hindu, Buddha, Islam atau Kejawen), semua berbondong-bondong
belajar kepadanya. Hal ini dikarenakan Jenar tidak membeda-bedakan agama dari
segi wadah, namun lebih mengutamakan isinya.2
Jenar meyakini bahwa pelaksanaan Syariat seharusnya mengacu pada tercapainya insan kamil, yaitu manusia sempurna yang dapat mencapai manunggal dengan Tuhannya.3 Menurutnya Syariat bukanlah sekedar aturan formal keagamaan yang dibatasi oleh hukum fikih. Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa Wali Songo. Menurutnya, pada masa itu kelima rukun Islam sudah berubah maknanya dalam hidup. Ibadah-ibadah dianggap telah kehilangan tujuan, arti dan hikmah hidup. Salat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas tak lain merupakan bentuk tata krama dan aturan keberagamaan. Oleh karena itu, Jenar mengajarkan praktik salat fungsional yang berbeda dari para wali pada masanya. Salat yg sebenarnya adalah salat yg didirikan dengan washala, yaitu tindakan menghubungkan dan menyatukan diri dengan Tuhan.4
Upaya tarekat dilakukan dengan cara melihat diri sendiri dan didasarkan pada bentuk pengendalian hawa nafsu yang dapat ditempuh dengan meditasi, berzikir, dan kontemplasi. Ketika proses meditasi berhasil, Jenar mendapatkan wahyu (ilham, inspirasi spiritual) dari Tuhan. Berdasarkan wahyu yang didapat oleh Jenar tersebut, lahir berbagai pengetahuan baru dan perilaku yang berasas pada keluhuran budi sebagai hasil dari komunikasi dengan Tuhan. Hal inilah yg membuat Jenar berjalan menuju Tuhan, menyatu dengan Tuhan dan telah membangun sikap Manunggaling Kawula Gusti.5
Konsep Manunggaling Kawula Gusti merupakan cita hidup yang menurut Jenar harus dicapai oleh manusia untuk mendapatkan penghayatan kesatuan dengan Tuhannya. Konsep ini merupakan gubahan dari ajaran tajalli dalam paham martabat tujuh. Pemikiran tajalli bersumber dari paham wahdatul wujud, juga disebut dengan monosisme, yang mengatakan bahwa hal yg maujud di alam ini sebenarnya merupakan tajalli-Nya (penampakan dari Zat Tuhan).6 Pemikiran ini memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat yg tunggal, yaitu Tuhan. Konsep tersebut sering dianggap kosmologi emanasi karena anggapan bahwa alam semesta ini adalah limpahan Tuhan, yakni Tuhan yang berkenan untuk menggelar Zat-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya.7
Dari sekian isu krusial yang disandarkan pada Siti Jenar, hal yang paling menyolok adalah kalimat yang diucapkannya, “Iya ingsun iki Allah” atau “Iya ingsun ya Allah”.8 Konsekuensi atas ucapan tersebut mendudukkan Jenar sebagai al Hallaj tanah Jawa.9 Dari seluruh prononima persona tunggal dalam bahasa Jawa, hanya ingsun yang bermakna pernyataan ‘saya’ sebagai seseorang yang berstatus sosial lebih tinggi dari lawan bicaranya.10
Jenar mengatakan ke-aku-annya dalam kata ingsun adalah Tuhan sebagai bentuk kebersatuan antara aku (Jenar) dan Aku (Tuhan). Artinya semua manusia dalam dirinya ada Aku (Tuhan), termasuk pada diri Syekh Siti Jenar.11 Hanya saja ada manusia yang sadar dan ada yang tidak, tergantung pada upaya yang dilakukan setiap orang. Walaupun ia mengatakan ingsun bukan dalam konteks bahwa keseluruhan dirinya (jiwa dan raga) adalah Tuhan, konsep ketuhanan ini telah menyimpang konsep ketauhidan yang telah Allah Swt. jelaskan sendiri bahwa Zat-Nya tidak akan pernah serupa dan setara dengan makhluk ciptaan-Nya.
Menurut Jenar, surga dan neraka yang merupakan balasan tindakan manusia di dunia hanya sebagai arus formalisme Islam dan tidak masuk akal.12 Hal ini didasarkan atas tanggapan Jenar yang menyatakan bahwa ketika manusia mati (yaitu menemui kehidupan yang sejati), ruh dalam diri manusia tersebut akan kembali kepada yang asali, yakni Tuhan. Artinya, ruh manusia sebagai ‘Aku’ Tuhan akan kembali pada hakikat asalnya, yakni Tuhan. Ruh-ruh tersebut tidak mungkin dipisah-pisah (surga dan neraka) karena semuanya akan menjadi satu dengan Tuhan sebagai bentuk kemanunggalan sejati. Penyimpangan terhadap konsep ruh yang ia yakini ini telah jelas dalam QS 17: 85 yang artinya, “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh, katakanlah: ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”. Sesungguhnya surga dan neraka sudah diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla dan kekal abadi tidak akan binasa, QS 98: 8, QS 33: 64-65.
Sebelum zaman Syekh Siti Jenar, yang
diperkirakan muncul pada masa Kerajaan Islam Demak, telah banyak muncul konsep
ketuhanan yang serupa. Konsep sufistik yang cukup terkenal ialah al ittihad yang dicetuskan oleh Abu
Yazid al Busthomi dan al hulul oleh
Husain bin Manshur al Hallaj. Ittihad
adalah peristiwa rohani di mana seorang hamba merasa bersatu dengan Tuhannya
sehingga keluar kalimat tidak umum seperti “Innani ana Allah la
ilaha illa ana fa’buduni”.13 Sedangkan
al hulul (incarnation) adalah istilah untuk menggambarkan keadaan
rohani seseorang di mana ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan
(nasut) hingga al Hallaj berucap “Anna al Haqq”14.
Tauhid adalah identitas yang melekat dalam semua bentuk peradaban Islam, yang menerangkan sifat Tuhan yang wajib diketahui dan dipercayai. Bagian terpenting tauhid ialah pembahasan tentang ke-Esaan Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Beberapa ulama membagi tauhid ke dalam tiga bagian, yaitu tauhid rububiyah (mengimani Allah Swt. sebagai satu-satunya Rabb yang menguasai bumi dan langit), tauhid uluhiyah (mengimani Allah Swt. sebagi satu-satunya yang disembah), asma wa sifat (mengimani tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Swt.). Penyederhanaan ini didasarkan atas QS 114: 1-3, QS 39: 6, QS 1: 2,4 dan 5. Menurut mereka pembagian tauhid seperti ini terkumpul dalam firman Allah dalam QS 19: 65.
Seorang mukmin harus memiliki makrifat (pengetahuan, pengenalan, pemahaman) yang benar mengenai Allah Swt. Ia harus memahami dan meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kesempurnaan dalam zat (esensi), sifat, asma (nama) dan af’al (perbuatan). Zat (esensi) Allah Swt. adalah Zat yang Maha Sempurna. Dia berbeda dengan semua makhluk ciptaan-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Mengenai hal ini Allah Swt. berfirman dalam QS 112: 1-4 dan QS 42:11, bahwa Allah menafikan jika ada sesuatu yang serupa dan setara dengan-Nya. Sifat dan asma (nama-nama) Allah Swt. pun adalah sifat dan nama yang Maha Sempurna karena di dalam QS 17:110 dan QS 7: 180 Allah Swt. berfirman hanya miliki-Nya-lah al asmaaul husna (nama-nama terbaik). Allah Swt. juga sempurna dalam af’al (perbuatan) karena penciptaan malaikat, jin, surga, neraka, langit, bumi, manusia, dan lainnya merupakan af’al-Nya sebagaimana dalam QS 85:16 dan QS 21: 23.
Referensi
1Ibny Hazm, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut, Darul Afaq. 2001. Juz III.
2Chodjim, Ahmad. 2005. Syekh Siti Jenar: Makna Kematian. PT Serambi Ilmu Semesta: Jakarta.
3Sholikhin, Muhammad. 2008. Manunggaling Kawula Gusti: Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Narasi: Yogyakarta.
4Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Universitas Indonesia: Jakarta.
5Ibid.
6Muryanto, Sri. 2010. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
7Sholikhin, Muhammad. 2004. Sufisme Syekh Siti Jenar kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar. Narasi: Yogyakarta.
8Mangunwijaya, RM Ngabèhi. 1917. Serat Siti Jenar. Pakempalan Widyas Pustaka: Weltevreden. h. 10.
9Sobary, Mohammad. 2000. “Kewibawaan ‘Subversif ’ Syekh Siti Jenar,” dalam Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa. Bentang Budaya: Yogyakarta. h. vi.
10Kamus Jawa Kuno Indonesia...., h. 379.
11Fauzan, Aris. 2011. Konsep Ingsun dalam Sastra Sufi Jawa: Analisis Terhadap Ingsun Siti Jenar. Ilmu Ushuluddin. 10 (1).
12Sidqi, Ahmad. Mendaras Manunggaling Kawula Gusti Syekh Siti Jenar. Media komunikasi sosial dan keagamaan. 17 (1).
13Noer, Kautsar Azhari. 2002. “Tasawuf Filosofis,” dalam Taufik Abadullah, dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban. PT. Ichtiar Baru van Hoeve: Jakarta. h. 158.
14Hamka. 1983. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Pustaka Panjimas: Jakarta. h. 112.
Tidak ada komentar